Pages

Monday, 6 July 2020

ETIKA DAKWAH


BAB I
PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang

Dalam berdakwah, seorang da’i haruslah memiliki aturan dan etika dalam penyampaian materi dakwah. Hal ini dikarenakan objek dari dakwah tersebut adalah masyarakat yang memiliki perbedaan antar individunya. Dan objek dakwah tersebut bukanlah sekedar orang yang paham tentang Islam. Beberapa dari mereka adalah orang awam dan bahkan terdapat pula non-Muslim yang memiliki kedudukan yang sama, yaitu objek dakwah.

   B.     Tujuan
Tujuan dari etika dakwah adalah agar mahasiswa mampu menjadi da’i yang bermanfaat bagi setiap orang. Agar tujuan ini tercapai, seorang da’i haruslah memahami kode etik dan rambu-rambu dalam berdakwah.


1.      Apa pengertian dari Etika Dakwah?
2.      Apa saja Kode Etik dari seorang Da’i?
3.      Bagaimana karakteristik seorang Da’i?
4.      Apa hikmah dari mempelajari Etika Dakwah?



BAB II
PEMBAHASAN

     A.    Pengertian Etika Dakwah

Etika berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehendak baik yang tetap. Etika berhubungan dengan soal baik atau buruk, benar atau salah. Etika adalah jiwa atau semangat yang menyertai suatu tindakan . dengan demikian Etika dilakukan oleh seseorang untuk perlakuan yang baik agar tidak menimbulkan keresahan dan orang lain menganggap bahwa tindakan tersebut memang memenuhi landasan etika.

     B.     Kode Etik Seorang Da’i

Beberapa etika dakwah yang hendaknya dilakukan oleh para juru dakwah dalam melakukan dakwahnya antara lain sebagai berikut:

1.      Sopan
Sopan berhubungan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku secara umum dalam tiap kelompok. Suatu pekerjaan dianggap tidak sopan, tatkala bertentangan dengan norma-norma yang berlaku disetiap komunitas.

Standar atau ukuran suatu kesopanan bagi masing-masing komunitas tidak sama. Masing-masing memiliki standar sendiri-sendiri, akan tetapi aturan yang berlaku umum dapat dijadikan rujukan dalam menentukan suatu standar kesopanan. Kesopanan harus kita pelihara dalam perbuatan dan pembicaraan, cara mengenakan pakaian dan bentuk serta model pakaian yang harus dijaga serapi mungkin agar tidak melanggar norma-norma tertentu yang membosankan.

Tindakan dan sikap yang dilakukan oleh da’i juga harus sejalan dengan pembicaraan yang disampaikan. Pembicaraan yang disampaikan haruslah benar, tidak menyampaikan berita bohong dan memutarbalikkan keadaan yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan, seorang da’i adalah teladan bagi masyarakat yang menjadi objek dakwah.

2.      Jujur
Dalam menyampaikan aktifitas dakwah, hendaklah da’i menyampaikan informasi yang jujur, terutama dalam mengemukakan dalil-dalil pembuktian. Kemahiran dalam mengungkapkan kata-kata mungkin dapat memutarbalikkan persoalan yang sebenarnya, jadi da’i harus menyampaikan sesuatu yang keluar dalam lisannya dengan landasan kejujuran dan faktual. Jika seorang da’i berkata bohong terhadap mustami’ nya, maka akan mengakibatkan ketidakpercayaan orang lain terhadap dai tersebut dan jika ini terjadi maka akan merendahkan kredibilitas da’i tersebut.

Dalam menyampaikan berita, umpamanya dimedia masa ataupun surat kabar dapat terjadi hal-hal yang melanggar etika kejujuran ini, misalnya dalam
a.         Pencorakan berita  (colorization of news)           
b.         Spekulasi (speculation)

3.      Tidak Menghasut
Seorang da’i dalam melaksanakan tugas dakwahnya, ia tidak boleh menghasut apa lagi memfitnah, baik kepada pribadi lain maupun kepada kelompok lain yang berselisih faham. Karena, jika itu dilakukan yang bingung dan resah adalah masyarakat pendengar sebagai objek dakwah. Masyarakat akan merasa bingung pendapat da’i yang mana yang yang benar dan harus diikuti. Jika memang ada pendapat bertantangan antara da’i yang satu dengan da’i yang lain harusnya disampaikan dengaan cara bijaksana dan meluruskan pendapat yang keliru tersebut, seningga, dengan cara bijaksana tersebut, pelurusan terhadap suatu tema  akan terasa mendamaikan masalah, bukan malah sebaliknya menimbulkan masalah.

            Adapun yang harus di ingat oleh da’i adalah bahwa dalam melakukan tugas dakwahnya. Ia harus menyampaikan kebenaran bukan harus menghasut. Menyampaikan kebenaran tidak harus disampaikan dengan menghasut atau bahkan melakukan provokasi. Tindakan ini sebenarnya tidak cocok dilakukan oleh seorang da’i, apa lagi jika perselisihan pendapat itu masih dalam tema khilafiyah (persilisihan faham) yang bukan prinsip dalam agama.

            Akan tetapi, jika memang yang disampaikan adalah masalah penegakan kebenaran secara hak, maka hendaklah ia menyampaikan kebenaran tersebut walau pahit sekalipun. Sebagaimana yang disampaikan oleh nabi saw. “ sampaikanlah kebenaran walau pahit sekalipun”.

            Beberapaa etika yang berlaku dalam masyarakan, hendaknya dipahami oleh seorang da’i atau mubaligh dalam melakukan aktifitas dakwahnya. Sehingga dengan demikian, aktifitas dakwahnya akan berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan keresahan serta benturan- benturan baik dikalangan antar da’i maupun dikalangan masyarakat pada umumnya.karena da’i bukanlah provokator.

4.      Tidak Memisahkan antara Ucapan dan Perbuatan
Dengan mencontoh Rasulullah dalam menjalankan dakwahnya, para da’i hendaknya untuk tidak memisahkan antara apa yang ia kerjakan, dalam artian apa saja yang diperintahkan kepada mad’u, harus pula dikerjakan dan apa saja yang dicegah harus ditinggalkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah Ash-Shaff ayat 2 sampai 3 yang berbunyi :

2. Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
3. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang da’i harus memulai kebaikan dari dirinya terlebih dahulu sebelum menyeru kepada orang lain. Karena Allah sendiri amat murka terhadap       orang yang memiliki sifat Kaburo Maktan.

5.      Tidak Melakukan Toleransi Agama
Toleransi (tasamuh) memang dianjurkan dalam Islam, tetap  i hanya dalam batas-batas tertentu dan tidak menyangkut masalah agama (keyakinan). Prinsip ini sesuai dengan Surah Al-Kafirun ayat terakhir, yang artinya “bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
Pada tataran ini seorang da’i haruslah teguh dan tegas dalam mempertahankan prinsip akidahnya tampil dengan penuh kejujuran dalam penyampaian dakwahnya. Namun juga tidak boleh memaksakan para mad’unya untuk mengikuti jalannya.
  
29. dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

Ayat di atas memberikan gambaran bahwa Allah memberikan kemerdekaan penuh bagi manusia untuk percaya atau tidak terhadap ajaran Nabi Muhammad SAW. Manusia tidak dipaksa untuk percaya kepadanya. Area sikap pemaksaan itu bukanlah prinsip dari ajaran Islam. Kemerdekaan ini sekaligus memperkuat statemen yang ada dalah surah al-Kafirun. Karena manusia telah dewasa dan dibekali akal dan tak perlu untuk dipaksa.

6.      Tidak Menghina Sesembahan Non-Muslim

Kode etik ini diambil dari QS. Al-An’am; 108:

108. dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

Da’i dalam menyampaikan ajarannya, sangat dilarang untuk menghina sesembahan orang non-Muslim yang berupa berhala. Tindakan mencaci atau menghina tersebut justru akan mengotori kesucian dari tujuan dakwah itu sendiri. Karena Islam datang untuk memperbaiki ummat, bukan untuk menyebarkan kejelekan terhadap umat lain.

7.      Tidak Memungut Imbalan

Dalam hal ini para ulama berpendapat menjadi tiga kelompok:

a.       Mazhab Hanafi berpendapat bahwa memungut imbalan dalam berdakwah hukumnya haram secara mutlak, baik dengan perjanjian sebelumnya ataupun tidak.
b.      Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, membolehkan dalam memungut biaya atau imbalan, dalam menyebarkan ajaran Islam baik ada perjanjian sebelumnya ataupun tidak.
c.       Al-Hasan Al-Basri, Ibn Sirin, al-Sya’ibi dan lainnya, mereka berpendapat boleh hukumnya memungut bayaran dalam berdakwah, tetapi harus diadakan perjanjian terlebih dahulu.

8.      Tidak Berteman dengan Pelaku Maksiat

Berkawan dengan orang pelaku maksiat ini dikhawatirkan akan berdampak buruk atau serius. Karena pelaku maksiat tersebut akan menganggap bahwa da’i mendukungnya untuk berbuat maksiat. Namun jika da’i terpaksa harus terjun ke lingkungan pelaku maksiat, maka da’i harus mampu menjaga dirinya serta mengukur kemampuannya. Dengan kata lain, jika da’i tersebut tidak mampu untuk berdakwah di tempat tersebut, maka ia harus meninggalkan tempat tersebut demi kemaslahatan.

9.      Tidak Menyampaikan Hal-hal yang Tidak Diketahui

Da’i yang menyampaikan suatu hukum, sementara ia tidak mengetahui, hukum itu pasti ia akan menyesatkan umat. Seorang juru dakwah tidak boleh asal jawab atau menjawab pertanyaan orang menurut seleranya sendiri tanpa ada dasar hukumnya. Da’i juga harus menyampaikan pesan dakwah sesuai taraf kemampuannya, masing-masing tidak memaksakan sesuatu yang berada di luar kesanggupan mereka.

     C.     Karakteristik Kode Etik Dakwah

1.      Al-Qur’an dan Sunnah Sumber Moral
Sebagai sumber moral atau pedoman hidup dalam Islam yang menjelaskan kriteria baik-buruknya suatu perbuatan adalah al-Qur’an dan Sunnah. Kedua dasar itulah yang menjadi landasan dan sumber ajaran Islam secara keseluruhan sebagai pola hidup dan menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk dalam menjalankan segala aktivitas dakwah.

2.      Akal dan Naluri

Akal dan naluri memiliki pendirian sebagai berikut:
a.       Akal dan naluri adalah anugerah Allah
b.      Akal dan pikiran manusia terbatas sehingga tidak akan mampu memecahkan seluruh permasalahan. Akan tetapi, akal yang dipancari oleh cahaya Al-Qur’an akan mampu menyelesaikannya atas kehendak Allah.
c.       Naluri yang mendapatkan pengarahan dari petunjuk Allah yang dijelaskan dalam Al-Qur’an.

3.      Motivasi Iman
“Sekali-kali tidaklah seorang mukmin akan merasa kenyang (puas) mengerjakan kebaikan, menjelang puncaknya memasuki surga.” (HR Tirmidzi).



BAB III
PENUTUP

   A.    Kesimpulan

Etika dakwah memiliki beberapa hikmah dan manfaat sebagai berikut:
  1.      Kemajuan Rohani, di mana bagi seorang juru dakwah ia akan selalu berpegang pada rambu-rambu etis Islam.
  2.      Sebagai penuntun kebaikan, kode etik dakwah bukan menuntun sang da’i kepada kebaikan tetapi mendorong dan memotivasi membentuk kehidupan yang baik.
  3.      Membawa pada kesempurnaan Islam.
   4.      Kerukunan antar umat beragama, untuk membina keharmonisan secara ekstern dan intern pada diri sang da’i.

    B.     Saran
Setelah dipresentasikannya makalah ini, penulis berharap agar seluruh peserta diskusi mampu melaksanakan kegiatan dakwah dan mematuhi kode etik seorang da’i. Hal ini dikarenakan, dalam dakwah seorang da’i akan menemui berbagai jenis masyarakat yang berbeda antara individunya.




REFERENSI :
Al-Qur’an Digital, Versi 2.0.
F., M. Husai. 1997. Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an.  Jakarta: Lentera Basritama.
Munir Amin, Samsul. 2009. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah.
Munir, M. 2003. Metode Dakwah. Jakarta: Prenada Media.
Nasution, Harun. 1993. Islam Rasional. Bandung: Mizan.
Yahya Omar, Toha. 1992.  Ilmu Dakwah. Jakarta: Wijaya.
Zahrah, Abu. 1994. Dakwah Islamiah. Bandung: PT Rosda Karya.

No comments:

Post a Comment

Jika ada pertanyaan dan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan artikel. Langsung saja kalian tulis di contak comment yang kami sediakan atau click post a comment dan jangan lupa untuk Berkomentar yang baik 🙂