BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam berdakwah,
seorang da’i haruslah memiliki aturan dan etika dalam penyampaian materi
dakwah. Hal ini dikarenakan objek dari dakwah tersebut adalah masyarakat yang
memiliki perbedaan antar individunya. Dan objek dakwah tersebut bukanlah
sekedar orang yang paham tentang Islam. Beberapa dari mereka adalah orang awam
dan bahkan terdapat pula non-Muslim yang memiliki kedudukan yang sama, yaitu
objek dakwah.
B.
Tujuan
Tujuan dari etika
dakwah adalah agar mahasiswa mampu menjadi da’i yang bermanfaat bagi setiap
orang. Agar tujuan ini tercapai, seorang da’i haruslah memahami kode etik dan
rambu-rambu dalam berdakwah.
1.
Apa pengertian dari Etika Dakwah?
2.
Apa saja Kode Etik dari seorang
Da’i?
3.
Bagaimana karakteristik seorang
Da’i?
4.
Apa hikmah dari mempelajari Etika
Dakwah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Etika Dakwah
Etika berasal dari
kata ethos yaitu untuk suatu kehendak baik yang tetap. Etika berhubungan
dengan soal baik atau buruk, benar atau salah. Etika adalah jiwa atau semangat
yang menyertai suatu tindakan . dengan demikian Etika dilakukan oleh seseorang
untuk perlakuan yang baik agar tidak menimbulkan keresahan dan orang lain
menganggap bahwa tindakan tersebut memang memenuhi landasan etika.
B.
Kode Etik Seorang Da’i
Beberapa etika dakwah
yang hendaknya dilakukan oleh para juru dakwah dalam melakukan dakwahnya antara
lain sebagai berikut:
1.
Sopan
Sopan berhubungan
dengan adat dan kebiasaan yang berlaku secara umum dalam tiap kelompok. Suatu
pekerjaan dianggap tidak sopan, tatkala bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku disetiap komunitas.
Standar atau ukuran
suatu kesopanan bagi masing-masing komunitas tidak sama. Masing-masing memiliki
standar sendiri-sendiri, akan tetapi aturan yang berlaku umum dapat dijadikan
rujukan dalam menentukan suatu standar kesopanan. Kesopanan harus kita pelihara
dalam perbuatan dan pembicaraan, cara mengenakan pakaian dan bentuk serta model
pakaian yang harus dijaga serapi mungkin agar tidak melanggar norma-norma
tertentu yang membosankan.
Tindakan dan sikap
yang dilakukan oleh da’i juga harus sejalan dengan pembicaraan yang
disampaikan. Pembicaraan yang disampaikan haruslah benar, tidak menyampaikan
berita bohong dan memutarbalikkan keadaan yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan,
seorang da’i adalah teladan bagi masyarakat yang menjadi objek dakwah.
2. Jujur
Dalam menyampaikan aktifitas dakwah, hendaklah da’i
menyampaikan informasi yang jujur, terutama dalam mengemukakan dalil-dalil
pembuktian. Kemahiran dalam mengungkapkan kata-kata mungkin dapat
memutarbalikkan persoalan yang sebenarnya, jadi da’i harus menyampaikan sesuatu
yang keluar dalam lisannya dengan landasan kejujuran dan faktual. Jika seorang
da’i berkata bohong terhadap mustami’ nya, maka akan mengakibatkan
ketidakpercayaan orang lain terhadap dai tersebut dan jika ini terjadi maka
akan merendahkan kredibilitas da’i tersebut.
Dalam menyampaikan berita, umpamanya dimedia masa
ataupun surat kabar dapat terjadi hal-hal yang melanggar etika kejujuran ini,
misalnya dalam
a.
Pencorakan berita (colorization of news)
b.
Spekulasi (speculation)
3.
Tidak Menghasut
Seorang da’i dalam
melaksanakan tugas dakwahnya, ia tidak boleh menghasut apa lagi memfitnah, baik
kepada pribadi lain maupun kepada kelompok lain yang berselisih faham. Karena,
jika itu dilakukan yang bingung dan resah adalah masyarakat pendengar sebagai
objek dakwah. Masyarakat akan merasa bingung pendapat da’i yang mana yang yang
benar dan harus diikuti. Jika memang ada pendapat bertantangan antara da’i yang
satu dengan da’i yang lain harusnya disampaikan dengaan cara bijaksana dan
meluruskan pendapat yang keliru tersebut, seningga, dengan cara bijaksana
tersebut, pelurusan terhadap suatu tema
akan terasa mendamaikan masalah, bukan malah sebaliknya menimbulkan
masalah.
Adapun yang harus di ingat oleh da’i
adalah bahwa dalam melakukan tugas dakwahnya. Ia harus menyampaikan kebenaran
bukan harus menghasut. Menyampaikan kebenaran tidak harus disampaikan dengan
menghasut atau bahkan melakukan provokasi. Tindakan ini sebenarnya tidak cocok
dilakukan oleh seorang da’i, apa lagi jika perselisihan pendapat itu masih
dalam tema khilafiyah (persilisihan faham) yang bukan prinsip dalam agama.
Akan tetapi, jika memang yang
disampaikan adalah masalah penegakan kebenaran secara hak, maka hendaklah ia
menyampaikan kebenaran tersebut walau pahit sekalipun. Sebagaimana yang
disampaikan oleh nabi saw. “ sampaikanlah kebenaran walau pahit sekalipun”.
Beberapaa etika yang berlaku dalam
masyarakan, hendaknya dipahami oleh seorang da’i atau mubaligh dalam melakukan
aktifitas dakwahnya.
Sehingga dengan demikian, aktifitas dakwahnya akan berjalan dengan baik dan
tidak menimbulkan keresahan serta benturan- benturan baik dikalangan antar da’i
maupun dikalangan masyarakat pada umumnya.karena da’i bukanlah provokator.
4.
Tidak Memisahkan antara Ucapan
dan Perbuatan
Dengan mencontoh
Rasulullah dalam menjalankan dakwahnya, para da’i hendaknya untuk tidak
memisahkan antara apa yang ia kerjakan, dalam artian apa saja yang diperintahkan kepada mad’u, harus pula dikerjakan
dan apa saja yang dicegah harus ditinggalkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah Ash-Shaff ayat 2 sampai 3 yang berbunyi :
2.
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak
kamu kerjakan?
3. Amat besar kebencian di sisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang da’i
harus memulai kebaikan dari dirinya terlebih dahulu sebelum menyeru kepada
orang lain. Karena Allah sendiri amat murka terhadap orang yang memiliki sifat Kaburo Maktan.
5. Tidak Melakukan Toleransi Agama
Toleransi (tasamuh) memang dianjurkan
dalam Islam, tetap i hanya dalam
batas-batas tertentu dan tidak menyangkut masalah agama (keyakinan). Prinsip
ini sesuai dengan Surah Al-Kafirun ayat terakhir, yang artinya “bagimu
agamamu dan bagiku agamaku.”
Pada tataran ini seorang da’i haruslah teguh
dan tegas dalam mempertahankan prinsip akidahnya tampil dengan penuh kejujuran
dalam penyampaian dakwahnya. Namun juga tidak boleh memaksakan para mad’unya
untuk mengikuti jalannya.
29.
dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir)
Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim
itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek.
Ayat di atas memberikan gambaran bahwa Allah
memberikan kemerdekaan penuh bagi manusia untuk percaya atau tidak terhadap
ajaran Nabi Muhammad SAW. Manusia tidak dipaksa untuk percaya kepadanya. Area
sikap pemaksaan itu bukanlah prinsip dari ajaran Islam. Kemerdekaan ini sekaligus memperkuat statemen yang ada dalah surah al-Kafirun. Karena manusia telah dewasa dan dibekali akal dan tak perlu untuk dipaksa.
6. Tidak Menghina Sesembahan Non-Muslim
Kode etik ini diambil dari QS. Al-An’am; 108:
108.
dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan.
Da’i dalam menyampaikan ajarannya, sangat
dilarang untuk menghina sesembahan orang non-Muslim yang berupa berhala.
Tindakan mencaci atau menghina tersebut justru akan mengotori kesucian dari
tujuan dakwah itu sendiri. Karena Islam datang untuk memperbaiki ummat, bukan
untuk menyebarkan kejelekan terhadap umat lain.
7. Tidak Memungut Imbalan
Dalam hal ini para ulama berpendapat menjadi
tiga kelompok:
a. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa memungut
imbalan dalam berdakwah hukumnya haram secara mutlak, baik dengan perjanjian
sebelumnya ataupun tidak.
b. Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, membolehkan
dalam memungut biaya atau imbalan, dalam menyebarkan ajaran Islam baik ada
perjanjian sebelumnya ataupun tidak.
c. Al-Hasan Al-Basri, Ibn Sirin, al-Sya’ibi dan
lainnya, mereka berpendapat boleh hukumnya memungut bayaran dalam berdakwah,
tetapi harus diadakan perjanjian terlebih dahulu.
8. Tidak Berteman dengan Pelaku Maksiat
Berkawan dengan orang pelaku maksiat ini
dikhawatirkan akan berdampak buruk atau serius. Karena pelaku maksiat tersebut
akan menganggap bahwa da’i mendukungnya untuk berbuat maksiat. Namun jika da’i
terpaksa harus terjun ke lingkungan pelaku maksiat, maka da’i harus mampu
menjaga dirinya serta mengukur kemampuannya. Dengan kata lain, jika da’i
tersebut tidak mampu untuk berdakwah di tempat tersebut, maka ia harus
meninggalkan tempat tersebut demi kemaslahatan.
9. Tidak Menyampaikan Hal-hal yang Tidak
Diketahui
Da’i yang menyampaikan suatu hukum, sementara
ia tidak mengetahui, hukum itu pasti ia akan menyesatkan umat. Seorang juru dakwah
tidak boleh asal jawab atau menjawab pertanyaan orang menurut seleranya sendiri
tanpa ada dasar hukumnya. Da’i juga harus menyampaikan pesan dakwah sesuai
taraf kemampuannya, masing-masing tidak memaksakan sesuatu yang berada di luar
kesanggupan mereka.
C. Karakteristik Kode Etik Dakwah
1. Al-Qur’an dan Sunnah Sumber Moral
Sebagai sumber moral atau pedoman hidup dalam
Islam yang menjelaskan kriteria baik-buruknya suatu perbuatan adalah al-Qur’an
dan Sunnah. Kedua dasar itulah yang menjadi landasan dan sumber ajaran Islam
secara keseluruhan sebagai pola hidup dan menetapkan mana yang baik dan mana
yang buruk dalam menjalankan segala aktivitas dakwah.
2. Akal dan Naluri
Akal dan naluri memiliki pendirian sebagai
berikut:
a. Akal dan naluri adalah anugerah Allah
b. Akal dan pikiran manusia terbatas sehingga
tidak akan mampu memecahkan seluruh permasalahan. Akan tetapi, akal yang
dipancari oleh cahaya Al-Qur’an akan mampu menyelesaikannya atas kehendak
Allah.
c. Naluri yang mendapatkan pengarahan dari
petunjuk Allah yang dijelaskan dalam Al-Qur’an.
3. Motivasi Iman
“Sekali-kali tidaklah seorang mukmin akan
merasa kenyang (puas) mengerjakan kebaikan, menjelang puncaknya memasuki
surga.” (HR Tirmidzi).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Etika dakwah memiliki beberapa hikmah dan manfaat
sebagai berikut:
1. Kemajuan Rohani, di mana bagi seorang juru
dakwah ia akan selalu berpegang pada rambu-rambu etis Islam.
2. Sebagai penuntun kebaikan, kode etik dakwah
bukan menuntun sang da’i kepada kebaikan tetapi mendorong dan memotivasi
membentuk kehidupan yang baik.
3. Membawa pada kesempurnaan Islam.
4. Kerukunan antar umat beragama, untuk membina
keharmonisan secara ekstern dan intern pada diri sang da’i.
B. Saran
Setelah dipresentasikannya makalah ini,
penulis berharap agar seluruh peserta diskusi mampu melaksanakan kegiatan
dakwah dan mematuhi kode etik seorang da’i. Hal ini dikarenakan, dalam dakwah
seorang da’i akan menemui berbagai jenis masyarakat yang berbeda antara
individunya.
REFERENSI :
Al-Qur’an Digital, Versi 2.0.
F., M. Husai. 1997. Metodologi Dakwah dalam
Al-Qur’an. Jakarta: Lentera
Basritama.
Munir Amin, Samsul. 2009. Ilmu Dakwah. Jakarta:
Amzah.
Munir, M. 2003. Metode Dakwah. Jakarta: Prenada
Media.
Nasution, Harun. 1993. Islam Rasional. Bandung:
Mizan.
Yahya Omar, Toha. 1992.
Ilmu Dakwah. Jakarta: Wijaya.
Zahrah, Abu. 1994. Dakwah Islamiah. Bandung: PT
Rosda Karya.
No comments:
Post a Comment